EKONOMI

Perbankan Harus Lebih Selektif Beri Pendanaan

Ilustrasi. (Net)
Ilustrasi. (Net)


JAKARTA - Industri perbankan Indonesia saat ini dinilai belum berkomitmen mengimplementasikan Peraturan OJK (POJK) Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan. 

Pasalnya, masih banyak lembaga keuangan yang menyalurkan kredit ke energi kotor batu bara, salah satunya PT Bank Negara Indonesia (Persero) atau BNI.

Berdasarkan studi lembaga Urgewald dan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), BNI tercatat saat ini masih memberi pinjaman ke perusahaan batu bara yang terdaftar pada Global Coal Exit List (GCEL) 2020. BNI diduga mendanai proyek tidak ramah lingkungan hingga USD1,83 miliar atau setara Rp27 triliun selama periode Oktober 2018 hingga Oktober 2020.

Pakar Hukum Bisnis dari Universitas Airlangga, Budi Kagramanto, mengatakan, perbankan sepatutnya selektif dalam memberikan pendanaan atau pinjaman, apalagi kepada perusahaan industri tambang dengan segala potensi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Selektif yang dimaksud adalah memperhatikan prinsip kehati-hatian atau prudential banking dalam UU Perbankan, yang kemudian memuat aspek 5C yakni character (watak), capacity (kapasitas), capital (modal), collateral (agunan) dan condition of economy (kondisi perekonomian).  


"Sekali pun prinsip kehati-hatian dipenuhi namun bank juga harus melihat dampak panjangnya bagaimana. Makanya harus selektif, agar tidak bertabrakan dengan kebijakan pemerintah terkait lingkungan hidup," ujarnya, dalam keterangan, Rabu (11/5/2022).

Lebih lanjut, munculnya dugaan pemberian pinjaman dana tanpa agunan atau agunan yang tidak sepadan dengan pinjaman dari bank BUMN seperti BNI kepada perusahaan tambang batu bara, Budi melihatnya sebagai sebuah masalah besar. 

"Jika ada pemberian pembiayaan tanpa agunan, terutama ke industri tambang, maka berpotensi melanggar hukum, khususnya Undang-Undang Perbankan dan Tipikor, pada aspek-aspek 5C, khususnya collateral," ujarnya.

Baginya, agunan adalah sebuah kewajiban, apalagi debiturnya merupakan perusahaan tambang dengan segala risiko kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.  

"Ya tidak boleh begitu. Apalagi untuk pendanaan proyek besar di industri tambang. Tetap harus pakai agunan. Menurut saya tidak boleh, karena ini menyangkut kerusakan lingkungan hidup. Jangan sampai dana cair tanpa agunan disetujui begitu saja," katanya.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad), Prof Gde Pantja Astawa, juga ikut berkomentar soal dugaan pendanaan tanpa agunan dari bank-bank pelat merah kepada sejumlah perusahaan tambang.

Menurutnya, bank BUMN seperti BNI tentu tidak lepas dari pemeriksaan yang dilakukan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), apalagi jika pembiayaannya berjalan selama bertahun-tahun. Jika benar ada dugaan pelanggaran dalam pendanaan perusahaan tambang ini, merujuk UU Perbankan, maka BPK pastinya akan menyampaikan laporannya kepada publik.

"Tidak mungkin bisa lolos begitu saja. Ini akan jadi temuan, paling tidak dipertanyakan, kok bisa diloloskan begitu saja? Apalagi tanpa agunan, ini akan menimbulkan kecurigaan," katanya.

Kemudian Gde Pantja menyorot kinerja OJK sebagai lembaga yang berwenang mengawasi sektor keuangan, termasuk perbankan. Jika ada temuan demikian, pastilah otoritas ini tidak akan tinggal diam, apalagi jika menyangkut prinsip prudential banking.

Dia menjelaskan bahwa dalam operasional perusahaannya, bank selain mengacu pada UU Perbankan juga berpegang pada UU Perseroan Terbatas. Pengelolaannya berdasarkan prinsip business judgement rule. Dari hal itu, bank akan berhitung untuk rugi perusahaan, termasuk dalam pembiayaan tambang, meskipun yang harus diutamakan adalah prinsip prudential banking atau kehati-hatian.

Pun dirinya mengingatkan kepada jajaran direksi bank, yang diyakininya pastilah orang-orang dengan kemampuan mumpuni, agar mempertimbangkan segala bentuk risiko dalam pembiayaan, terkhusus soal untung rugi.

"Harus hati-hati dan berpegang pada busines judgement rule karena jika ada penyelewengan tanpa itikad baik, maka ancamannya pidana," ujarnya.

Editor: Wahyu Sabda Kuncahyo